Jumat, 17 April 2009

MUQADDIMAH


Sesungguhnya segala puji bagi Allah, kami memuji-Nya, minta pertolongan kepada-Nya, dan kami memohon perlindungan kepada-Nya dari kejahatan diri kami dan dari keburukan amal-amal kami. Barangsiapa yang diberi petunjuk Allah, maka tak ada yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa disesatkan Allah, maka tak ada yang dapat menunjukinya. Dan aku bersaksi bahwa tiada Ilah (yang berhak disembah) kecuali Allah saja, tiada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.

Amma ba’du:

Allah Ta’ala berfirman:

{وما كان المؤمنون لينفروا كافة فلولا نفر من كل فرقة منهم طائفة ليتفقهوا في الدين وينذروا قومهم إذا رجعوا إليهم لعلهم يحذرون) [التوبة : 122]

“Tidak sepatutnya bagi orang-orang beriman pergi berperang semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka, sekelompok orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka kembali kepadanya, supaya mereka berhati-hati.” (Qs At Taubah 122)
Al Qurthubi berkata: “Ayat di atas mengisyaratkan bahwa jihad yang dimaksudkan dalam ayat di atas bukanlah jihad yang kedudukan hukumnya adalah fardhu ‘ain, tapi yang fardhu kifayah. Sebab jika kaum muslimin semuanya pergi berperang, tentu keluarga yang mereka tinggalkan di belakang mereka akan terancam keselamatannya. Karena itu, hendaknya sebagian mereka pergi berperang, dan sebagian kecil lainnya tafaqquh fid-din (memperdalam pengetahuan agama) serta melindungi keselamatan kaum wanita dan anak-anak. Sehingga apabila mereka yang pergi berperang telah kembali, maka orang-orang yang tinggal untuk tafaqquh fid-din tadi mengajarkan kepada mereka hukum-hukum syari’at yang telah mereka pelajari”
Dalam ayat ini, Allah Swt membagi orang-orang beriman menjadi dua golongan: Mujahid dan Mujtahid , tak ada kebaikan pada golongan lain di luar mereka. Mujahid yang Mujtahid dan Mujtahid yang Mujahid. Sesungguhnya kata “Jihad” dan “Ijtihad” menurut pengertian bahasa, berasal dari kata ( التعب و المشقّة) yang bermakna: Kepayahan dan kesulitan atau dari kata (الوسع و الطاقة) yang bermakna: Daya dan kekuatan.
Sayyid Qutb rhm mengatakan setelah menyitir ayat di atas:(Sesungguhnya agama ini tak mungkin dapat dipahami kecuali lewat kancah perjuangan, dan ia tidak diambil dari seorang faqih qaa’id (orang alim yang tak berjuang) tatkala perjuangan itu menjadi satu keharusan. Mereka yang duduk menekuni kitab-kitab dan lembar-lembar tulisan di zaman sekarang, guna mengeluarkan hukum-hukum fiqh daripadanya, mencoba melakukan pembaharuan terhadap fiqh Islam atau mengembangkannya, namun mereka jauh dari kancah perjuangan yang bertujuan membebaskan manusia dari perbudakan sesama manusia, dan mengembalikan mereka kepada ubudiyatullah (penghambaan kepada Allah) saja, dengan jalan menjadikan syari’at Allah sebagai hukum yang berkuasa dan melenyapkan undang-undang hukum buatan thaghut… maka sesungguhnya mereka tidak paham terhadap tabi’at agama ini. Maka dari itu, pemahamannya terhadap Islampun tidak baik.)1
Ketahuilah bahwa tujuan dari jihad dan ijtihad adalah menghambakan manusia hanya kepada Allah saja, dan membebaskan mereka dari penghambaan kepada sesama manusia, serta melenyapkan semua thaghut di muka bumi dan mengikis bersih berbagai kerusakan dari muka bumi.2
Para pendahulu ummat ini, yakni generasi ummat terbaik, memahami benar agama ini. Mereka telah mengaktualisasikannya dalam realita kehidupan nyata, sehingga ajaran-ajaran agama ini menjadi sebuah gambaran yang kokoh terpatri dan menjadi sifat bawaan yang melekat pada diri mereka. Kemudian mereka memenuhi isi dunia dengan kesadaran dan pengetahuan tentang risalah Ilahi.
Ath Thabari berkata: (Sebelum pecah perang Qadisiyah, Sa’ad bin Abi Waqqash mengirim Rib’i bin ‘Amir ke markas pasukan musuh guna memenuhi permintaan panglima perang pasukan Parsi, Rostom. Begitu duta Islam ini sampai ke markas pasukan Rostom, maka dia ditanya oleh Rostom: “Apa sebenarnya yang menjadi misi kalian?” Rib’i menjawab: ” Demi Allah, Allah telah mengutus kami dan membawa kami datang kemari untuk mengeluarkan siapa yang Dia kehendaki dari penghambaan kepada sesama manusia pada penghambaan kepada Allah saja, dan dari sempitnya dunia kepada keluasannya, dan dari ketidak-adilan agama-agama kepada keadilan Islam. Dia mengutus kami dengan agama-Nya kepada makhluk-Nya, untuk kami seru mereka kepada-Nya. Siapa yang menerima seruan kami, maka kami terima keislamannya, kami lindungi jiwa dan hartanya dan kami pasrahkan negerinya untuk dia atur sendiri. Dan siapa yang menolak seruan kami, maka kami akan memeranginya hingga kami meraih apa yang dijanjikan Allah.” Panglima Rostom bertanya: “Lalu apa yang dijanjikan itu?” Rib’i menjawab: “Surga bagi yang mati karena memerangi mereka yang menentang. Dan kemenangan bagi mereka yang masih hidup.”1
Kemudian berlalulah masa yang sangat panjang atas ummat ini, mereka mundur kembali ke belakang dan lupa dengan masa kejayaannya, seakan-akan zaman berulang seperti keadaan saat pertama kalinya. Agama Islam kembali nampak asing seperti saat awal mula kedatangannya, persis seperti sabda Rasulullah Saw dalam sebuah hadits:
"بدأ الإسلام غريبا وسيعود غريبا كما بدأ فطوبى للغرباء"

“Islam datang mula pertama dalam keadaan asing, dan dia akan kembali asing sebagaimana keadaan mula pertamanya. Maka beruntunglah bagi orang-orang yang asing.”2

“Seakan-akan alam menyeru kepada dunia agar melemah dan menyusut, maka segera duniapun menyambut seruan tersebut.” Demikian kata Ibnu Khaldun. Saya katakan: “Peradaban membutuhkan tajdid (renovasi), sementara tajdid itu sendiri dicapai setelah melakukan proses pencerahan, yang mana proses pencerahan itu adalah keterasingan Islam di tengah-tengah kebobrokan dan kebodohan ummat manusia di dunia. Adapun tajdid itu sendiri adalah dengan jihad dan ijtihad. Dengan memperbaharui pandangan yang komprehensip terhadap dunia pada srata ilmu pengetahuan, sosial kemasyarakatan dan nilai-nilai moral yang tengah dilanda kerusakan pada masa-masa belakangan ini.
Saudara ‘Umar Abu ‘Umar telah ikut ambil bagian dalam menjawab berbagai tuntutan tajdid untuk meluruskan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan tajdid dan ijtihad. Yakni dengan memperluas makna pengertiannya dan melakukan tajdid (pembaharuan) terhadapnya agar ia memperoleh posisinya yang tepat di tengah-tengah masyarakat kita saat ini. Dia memandang persoalan secara komprehensip (menyeluruh) dan integral (menyatu dalam satu kesatuan), bukan secara partial (sepotong-potong) dan diferensial (terpisah-pisah). Meski pemikiran-pemikirannya ringkas dan padat, namun ia datang mengalir seperti hujan deras, sehingga menggugah sanubari kita dan membangkitkan jiwa kita dari kelalaiannya dan keterpulasannya.
Sesungguhnya korelasi yang kuat antara jihad dan ijtihad serta antara ubudiyah dan tauhid yang dipaparkan oleh penulis, mengembalikan agama ini ke jalannya semula, dan menjadikannya segar seperti keadaannya semula saat pertama diturunkan sebelum dijamah oleh tangan takwil (penakwilan) dan tabdil (perubahan). Dan uraian yang ia kemukakan mengenai khalqu (ciptaan) dan amru (perintah) serta antara kauni dan syar’i menjadikan pertalian kedua hal ini sebagai satu perkara yang mungkin. Sesungguhnya Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rhm-lah yang pantas mendapatkan keutamaan ini, sebab beliau telah menerangkan makna pengertian ini jauh sebelumnya, hanyasaja kelalaian yang menimpa ummat Islam telah menjadikan syari’at terhapus, pengertiannya menjadi kabur dan hakekatnya menjadi tidak jelas..
Ibnu Taimiyah mengatakan: “Hukum Allah ada dua macam: khalqu dan amru.” Beliau mengatakan lebih lanjut: ”Banyak orang yang tidak jelas di dalam memahami hakekat perintah agama yang bersifat imaniyah dengan hakekat ciptaan dan ketentuan ilahi yang bersifat kauniyah. Sesungguhnya hak Allah Swt-lah khalqu (menciptakan) dan amru (memerintah), sebagaimana firman-Nya:

{ألا له الخلق والأمر تبارك الله رب العالمين}

“Ingatlah menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah Tuhan semesta alam.” (Qs Al A’raaf 54)
Dia, Allah, Maha Suci Dia, Pencipta segala sesuatu, Pemiliknya, Rajanya, tak ada pencipta selain-Nya, tak ada pengatur alam semesta selain-Nya, apa yang Dia kehendaki pasti terjadi, dan apa yang tidak Dia kehendaki tak akan terjadi. Segala sesuatu yang ada di alam semesta ini, yang bergerak dan yang diam, adalah dengan iradah-Nya, qadar-Nya, kehendak-Nya, qudrah-Nya dan ciptaan-Nya. Dan Allah Swt memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk menta’ati-Nya dan menta’ati para Rasul-Nya, dan melarang mereka dari mendurhakai-Nya dan mendurhakai para Rasul-Nya. Allah memerintahkan tauhid dan ikhlas serta melarang syirik kepada-Nya.

Perlu kiranya disinggung di sini, bahwa obsesi sang penulis adalah mengembalikan makna pengertian jihad dan ijtihad pada tempatnya yang proporsional di tengah-tengah masyarakat Islam sekarang, setelah ia lama hilang dari benak pikiran kaum muslimin. Dan dia mendapatkan kesempatan untuk merealisir obsesinya tersebut, di mana dia dapat mengaitkan antara jihad dan ijtihad dengan qudrah (kemampuan) dan istithaa’ah (kesanggupan) setelah sekian lama kedua hal ini dipercayakan kepada Imam (Khalifah). Jihad adalah kata yang merepresentasikan kekuatan dalam makna pengertiannya yang paling sempurna, sedangkan ijtihad adalah kata yang merepresentasikan pengetahuan dalam makna pengertiannya yang paling menyeluruh/mencakup. Dan tidak samar lagi bagi seorang cerdik cendekia bahwa jalinan yang mempertalikan antara kekuatan dan pengetahuan itulah yang membentuk kekuasaan dalam makna pengertiannya yang sempurna dan menyeluruh.
Ibnu Taimiyah mengatakan dalam topik persoalan jihad dan qudrah: (Mengingat bahwa jihad merupakan kesempurnaan dari amar ma’ruf dan nahi munkar, maka jihadpun sama seperti amar ma’ruf nahi munkar, apabila tidak ada yang mengerjakan kewajiban tersebut, maka setiap orang yang mampu akan berdosa. Adapun seberapa dosa yang dipikulnya, maka hal itu tergantung kadar kemampuannya, sebab jihad wajib bagi setiap orang menurut kadar kemampuannya.)1
Dan beliau berkata dalam topik persoalan ijtihad dan qudrah: (Demikian pula seorang awam, jika dia sanggup melakukan ijtihad dalam sesuatu masalah, maka boleh baginya berijtihad, karena sesungguhnya ijtihad adalah suatu kedudukan yang menerima adanya pembagian dan pemisahan. Jadi yang menjadi faktor utama adalah mampu atau tak mampu, dan bisa jadi seseorang mampu dalam sesuatu masalah namun lemah/tak mampu dalam masalah yang lain.)2
Saya ingin mengingatkan bahwa buku ini semula merupakan kumpulan makalah yang terpisah-pisah, yang kemudian disusun secara sistematis mengikuti alur pembahasan jihad dan ijtihad, jadi apabila saudara pembaca menemukan adanya keterpisahan dalam susunan, maka sekali-kali tidak akan hilang keterikatannya dalam makna dan isi, adapun dosa dari kesalahan tersebut ada di pundak penyusunnya bukan penulisnya.
Dan saya mohon kepada Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Kuasa, kiranya Dia berkenan memberi taufik kita kepada sesuatu yang Dia cintai dan Dia ridha’i, dan kiranya Dia berkenan menjadikan kita termasuk diantara ahli jihad dan ijtihad, wal-hamdulillaahi rabbil ‘aalamien.




Selengkapnya...

Ijtihad

MUQADDIMAH


Sesungguhnya segala puji bagi Allah, kami memuji-Nya, minta pertolongan kepada-Nya, dan kami memohon perlindungan kepada-Nya dari kejahatan diri kami dan dari keburukan amal-amal kami. Barangsiapa yang diberi petunjuk Allah, maka tak ada yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa disesatkan Allah, maka tak ada yang dapat menunjukinya. Dan aku bersaksi bahwa tiada Ilah (yang berhak disembah) kecuali Allah saja, tiada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.

Amma ba’du:

Allah Ta’ala berfirman:

{وما كان المؤمنون لينفروا كافة فلولا نفر من كل فرقة منهم طائفة ليتفقهوا في الدين وينذروا قومهم إذا رجعوا إليهم لعلهم يحذرون) [التوبة : 122]

“Tidak sepatutnya bagi orang-orang beriman pergi berperang semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka, sekelompok orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka kembali kepadanya, supaya mereka berhati-hati.” (Qs At Taubah 122)
Al Qurthubi berkata: “Ayat di atas mengisyaratkan bahwa jihad yang dimaksudkan dalam ayat di atas bukanlah jihad yang kedudukan hukumnya adalah fardhu ‘ain, tapi yang fardhu kifayah. Sebab jika kaum muslimin semuanya pergi berperang, tentu keluarga yang mereka tinggalkan di belakang mereka akan terancam keselamatannya. Karena itu, hendaknya sebagian mereka pergi berperang, dan sebagian kecil lainnya tafaqquh fid-din (memperdalam pengetahuan agama) serta melindungi keselamatan kaum wanita dan anak-anak. Sehingga apabila mereka yang pergi berperang telah kembali, maka orang-orang yang tinggal untuk tafaqquh fid-din tadi mengajarkan kepada mereka hukum-hukum syari’at yang telah mereka pelajari”
Dalam ayat ini, Allah Swt membagi orang-orang beriman menjadi dua golongan: Mujahid dan Mujtahid , tak ada kebaikan pada golongan lain di luar mereka. Mujahid yang Mujtahid dan Mujtahid yang Mujahid. Sesungguhnya kata “Jihad” dan “Ijtihad” menurut pengertian bahasa, berasal dari kata ( التعب و المشقّة) yang bermakna: Kepayahan dan kesulitan atau dari kata (الوسع و الطاقة) yang bermakna: Daya dan kekuatan.

Sayyid Qutb rhm mengatakan setelah menyitir ayat di atas:(Sesungguhnya agama ini tak mungkin dapat dipahami kecuali lewat kancah perjuangan, dan ia tidak diambil dari seorang faqih qaa’id (orang alim yang tak berjuang) tatkala perjuangan itu menjadi satu keharusan. Mereka yang duduk menekuni kitab-kitab dan lembar-lembar tulisan di zaman sekarang, guna mengeluarkan hukum-hukum fiqh daripadanya, mencoba melakukan pembaharuan terhadap fiqh Islam atau mengembangkannya, namun mereka jauh dari kancah perjuangan yang bertujuan membebaskan manusia dari perbudakan sesama manusia, dan mengembalikan mereka kepada ubudiyatullah (penghambaan kepada Allah) saja, dengan jalan menjadikan syari’at Allah sebagai hukum yang berkuasa dan melenyapkan undang-undang hukum buatan thaghut… maka sesungguhnya mereka tidak paham terhadap tabi’at agama ini. Maka dari itu, pemahamannya terhadap Islampun tidak baik.)1
Ketahuilah bahwa tujuan dari jihad dan ijtihad adalah menghambakan manusia hanya kepada Allah saja, dan membebaskan mereka dari penghambaan kepada sesama manusia, serta melenyapkan semua thaghut di muka bumi dan mengikis bersih berbagai kerusakan dari muka bumi.2
Para pendahulu ummat ini, yakni generasi ummat terbaik, memahami benar agama ini. Mereka telah mengaktualisasikannya dalam realita kehidupan nyata, sehingga ajaran-ajaran agama ini menjadi sebuah gambaran yang kokoh terpatri dan menjadi sifat bawaan yang melekat pada diri mereka. Kemudian mereka memenuhi isi dunia dengan kesadaran dan pengetahuan tentang risalah Ilahi.
Ath Thabari berkata: (Sebelum pecah perang Qadisiyah, Sa’ad bin Abi Waqqash mengirim Rib’i bin ‘Amir ke markas pasukan musuh guna memenuhi permintaan panglima perang pasukan Parsi, Rostom. Begitu duta Islam ini sampai ke markas pasukan Rostom, maka dia ditanya oleh Rostom: “Apa sebenarnya yang menjadi misi kalian?” Rib’i menjawab: ” Demi Allah, Allah telah mengutus kami dan membawa kami datang kemari untuk mengeluarkan siapa yang Dia kehendaki dari penghambaan kepada sesama manusia pada penghambaan kepada Allah saja, dan dari sempitnya dunia kepada keluasannya, dan dari ketidak-adilan agama-agama kepada keadilan Islam. Dia mengutus kami dengan agama-Nya kepada makhluk-Nya, untuk kami seru mereka kepada-Nya. Siapa yang menerima seruan kami, maka kami terima keislamannya, kami lindungi jiwa dan hartanya dan kami pasrahkan negerinya untuk dia atur sendiri. Dan siapa yang menolak seruan kami, maka kami akan memeranginya hingga kami meraih apa yang dijanjikan Allah.” Panglima Rostom bertanya: “Lalu apa yang dijanjikan itu?” Rib’i menjawab: “Surga bagi yang mati karena memerangi mereka yang menentang. Dan kemenangan bagi mereka yang masih hidup.”1
Kemudian berlalulah masa yang sangat panjang atas ummat ini, mereka mundur kembali ke belakang dan lupa dengan masa kejayaannya, seakan-akan zaman berulang seperti keadaan saat pertama kalinya. Agama Islam kembali nampak asing seperti saat awal mula kedatangannya, persis seperti sabda Rasulullah Saw dalam sebuah hadits:
"بدأ الإسلام غريبا وسيعود غريبا كما بدأ فطوبى للغرباء"

“Islam datang mula pertama dalam keadaan asing, dan dia akan kembali asing sebagaimana keadaan mula pertamanya. Maka beruntunglah bagi orang-orang yang asing.”2

“Seakan-akan alam menyeru kepada dunia agar melemah dan menyusut, maka segera duniapun menyambut seruan tersebut.” Demikian kata Ibnu Khaldun. Saya katakan: “Peradaban membutuhkan tajdid (renovasi), sementara tajdid itu sendiri dicapai setelah melakukan proses pencerahan, yang mana proses pencerahan itu adalah keterasingan Islam di tengah-tengah kebobrokan dan kebodohan ummat manusia di dunia. Adapun tajdid itu sendiri adalah dengan jihad dan ijtihad. Dengan memperbaharui pandangan yang komprehensip terhadap dunia pada srata ilmu pengetahuan, sosial kemasyarakatan dan nilai-nilai moral yang tengah dilanda kerusakan pada masa-masa belakangan ini.
Saudara ‘Umar Abu ‘Umar telah ikut ambil bagian dalam menjawab berbagai tuntutan tajdid untuk meluruskan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan tajdid dan ijtihad. Yakni dengan memperluas makna pengertiannya dan melakukan tajdid (pembaharuan) terhadapnya agar ia memperoleh posisinya yang tepat di tengah-tengah masyarakat kita saat ini. Dia memandang persoalan secara komprehensip (menyeluruh) dan integral (menyatu dalam satu kesatuan), bukan secara partial (sepotong-potong) dan diferensial (terpisah-pisah). Meski pemikiran-pemikirannya ringkas dan padat, namun ia datang mengalir seperti hujan deras, sehingga menggugah sanubari kita dan membangkitkan jiwa kita dari kelalaiannya dan keterpulasannya.
Sesungguhnya korelasi yang kuat antara jihad dan ijtihad serta antara ubudiyah dan tauhid yang dipaparkan oleh penulis, mengembalikan agama ini ke jalannya semula, dan menjadikannya segar seperti keadaannya semula saat pertama diturunkan sebelum dijamah oleh tangan takwil (penakwilan) dan tabdil (perubahan). Dan uraian yang ia kemukakan mengenai khalqu (ciptaan) dan amru (perintah) serta antara kauni dan syar’i menjadikan pertalian kedua hal ini sebagai satu perkara yang mungkin. Sesungguhnya Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rhm-lah yang pantas mendapatkan keutamaan ini, sebab beliau telah menerangkan makna pengertian ini jauh sebelumnya, hanyasaja kelalaian yang menimpa ummat Islam telah menjadikan syari’at terhapus, pengertiannya menjadi kabur dan hakekatnya menjadi tidak jelas..
Ibnu Taimiyah mengatakan: “Hukum Allah ada dua macam: khalqu dan amru.” Beliau mengatakan lebih lanjut: ”Banyak orang yang tidak jelas di dalam memahami hakekat perintah agama yang bersifat imaniyah dengan hakekat ciptaan dan ketentuan ilahi yang bersifat kauniyah. Sesungguhnya hak Allah Swt-lah khalqu (menciptakan) dan amru (memerintah), sebagaimana firman-Nya:

{ألا له الخلق والأمر تبارك الله رب العالمين}

“Ingatlah menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah Tuhan semesta alam.” (Qs Al A’raaf 54)
Dia, Allah, Maha Suci Dia, Pencipta segala sesuatu, Pemiliknya, Rajanya, tak ada pencipta selain-Nya, tak ada pengatur alam semesta selain-Nya, apa yang Dia kehendaki pasti terjadi, dan apa yang tidak Dia kehendaki tak akan terjadi. Segala sesuatu yang ada di alam semesta ini, yang bergerak dan yang diam, adalah dengan iradah-Nya, qadar-Nya, kehendak-Nya, qudrah-Nya dan ciptaan-Nya. Dan Allah Swt memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk menta’ati-Nya dan menta’ati para Rasul-Nya, dan melarang mereka dari mendurhakai-Nya dan mendurhakai para Rasul-Nya. Allah memerintahkan tauhid dan ikhlas serta melarang syirik kepada-Nya.
Perlu kiranya disinggung di sini, bahwa obsesi sang penulis adalah mengembalikan makna pengertian jihad dan ijtihad pada tempatnya yang proporsional di tengah-tengah masyarakat Islam sekarang, setelah ia lama hilang dari benak pikiran kaum muslimin. Dan dia mendapatkan kesempatan untuk merealisir obsesinya tersebut, di mana dia dapat mengaitkan antara jihad dan ijtihad dengan qudrah (kemampuan) dan istithaa’ah (kesanggupan) setelah sekian lama kedua hal ini dipercayakan kepada Imam (Khalifah). Jihad adalah kata yang merepresentasikan kekuatan dalam makna pengertiannya yang paling sempurna, sedangkan ijtihad adalah kata yang merepresentasikan pengetahuan dalam makna pengertiannya yang paling menyeluruh/mencakup. Dan tidak samar lagi bagi seorang cerdik cendekia bahwa jalinan yang mempertalikan antara kekuatan dan pengetahuan itulah yang membentuk kekuasaan dalam makna pengertiannya yang sempurna dan menyeluruh.
Ibnu Taimiyah mengatakan dalam topik persoalan jihad dan qudrah: (Mengingat bahwa jihad merupakan kesempurnaan dari amar ma’ruf dan nahi munkar, maka jihadpun sama seperti amar ma’ruf nahi munkar, apabila tidak ada yang mengerjakan kewajiban tersebut, maka setiap orang yang mampu akan berdosa. Adapun seberapa dosa yang dipikulnya, maka hal itu tergantung kadar kemampuannya, sebab jihad wajib bagi setiap orang menurut kadar kemampuannya.)1
Dan beliau berkata dalam topik persoalan ijtihad dan qudrah: (Demikian pula seorang awam, jika dia sanggup melakukan ijtihad dalam sesuatu masalah, maka boleh baginya berijtihad, karena sesungguhnya ijtihad adalah suatu kedudukan yang menerima adanya pembagian dan pemisahan. Jadi yang menjadi faktor utama adalah mampu atau tak mampu, dan bisa jadi seseorang mampu dalam sesuatu masalah namun lemah/tak mampu dalam masalah yang lain.)2
Saya ingin mengingatkan bahwa buku ini semula merupakan kumpulan makalah yang terpisah-pisah, yang kemudian disusun secara sistematis mengikuti alur pembahasan jihad dan ijtihad, jadi apabila saudara pembaca menemukan adanya keterpisahan dalam susunan, maka sekali-kali tidak akan hilang keterikatannya dalam makna dan isi, adapun dosa dari kesalahan tersebut ada di pundak penyusunnya bukan penulisnya.
Dan saya mohon kepada Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Kuasa, kiranya Dia berkenan memberi taufik kita kepada sesuatu yang Dia cintai dan Dia ridha’i, dan kiranya Dia berkenan menjadikan kita termasuk diantara ahli jihad dan ijtihad, wal-hamdulillaahi rabbil ‘aalamien.
Selengkapnya...

Ibnu Khottob "Amir As Suwailim"

"Sekiranya kamu memberitahu saya di Afghanistan bahawa akan tiba satu hari di mana kita akan berperang dengan pihak Rusia di dalam Rusia, aku tidak akan mempercayaimu pada ketika itu." [Ibn-ul-Khattab]

Dilahirkan di Semenanjung Arab, Khattab dibesarkan di dalam keluarga yang agak berada dan terpelajar. Beliau membesar menjadi seorang anak muda yang berani dan kuat, yang terkenal sebagai seorang yang nekad dan tidak mengenal erti takut. Selepas menguasai bahasa Inggeris, beliau mendapat tempat di sebuah Sekolah Tinggi (High School) Amerika pada tahun 1987. 1987 merupakan kemuncak Jihad Afghan menentang penjajahan tentera Soviet Union (ketika itu) di bumi Afghan. Anak-anak muda dari seluruh bumi umat Islam serata dunia bergegas ke Afghanistan menyahut seruan Jihad para Mujahid terkenal seperti Sheikh Abdullah Azzam (dibom pada 1989), Sheikh Tamim Adnani (meninggal dunia pada 1988) dan Usama bin Ladin.

Kisah-kisah perjuangan penuh dengan keajaiban atas kuasa Allah SWT dan kisah-kisah keberanian menentang 'Superpower' dunia ketika itu mula mencecah telinga umat Islam sedunia. Ketika hampir tiba masanya untuk beliau berangkat ke dunia baru melanjutkan pelajaran di Amerika Syarikat, Khattab memutuskan untuk mengikut para sahabat dan kaum-keluarga beliau ke Afghanistan untuk satu lawatan pendek. Sejak dari hari beliau melambai selamat tinggal pada kedua ibubapa dan keluarga beliau pada akhir 1987 tersebut, Khattab tidak pernah kembali.

Salah seorang daripada para Mujahideen menggambarkan tentang Khattab, anak muda belasan tahun, yang tiba di kem latihan pertamanya di Jalalabad, Afghanistan:

"camp latihan berhampiran Jalalabad penuh dengan para Mujahideen yang datang dan pergi pada hampir setiap hari. Kami sedang bersiap-sedia untuk satu operasi besar-besaran menentang pihak Rusia dan para Mujahid yang telah menamatkan latihan mereka berkemas untuk meninggalkan kem latihan menuju ke barisan hadapan. Sedang kami bersiap-sedia untuk berangkat, sekumpulan rekrut baru tiba. Pada ketika itulah aku perasankan seorang anak muda belasan tahun di kalangan para rekrut baru tersebut: 16-17 tahun, berambut panjang dan berjambang yang belum tumbuh sepenuhnya lagi. Beliau terus berjumpa dengan para komander kem latihan tersebut dan merayu agar mereka membenarkan beliau ikut serta ke barisan hadapan. Para komander tersebut tentu sekali enggan menghantar seorang 'budak' yang tidak terlatih ke barisan hadapan tanpa apa-apa latihan. Aku lantas mendapatkan beliau, memberi salam dan bertanyakan nama beliau. Beliau menjawab, 'Ibn-ul-Khattab'"

Khattab menyempurnakan latihan beliau dan turut serta di barisan hadapan. Salah seorang daripada jurulatih beliau adalah Hassan as-Sarehi, Komander operasi Kandang Singa di Jaji, Afghanistan, 1987. [Hassan as-Sarehi kini dipenjarakan di Kem Tahanan ar-Ruwais, Jeddah, Saudi Arabia, sejak 1996 atas tuduhan jenayah yang penjenayah sebenarnya telahpun dihukum bunuh]. Dalam tempoh enam tahun berikutnya, anak muda ini telah menjadi salah seorang daripada Komander Mujahideen yang paling berani dan payah untuk ditewaskan sepanjang sejarah Jihad di abad ke-20 ini. Beliau dikenali sebagai seorang yang enggan tunduk merebahkan diri ketika berhadapan dengan tembakan musuh dan keengganan beliau menunjukkan kesakitan selepas mengalami kecederaan. Dari serang hendap ke operasi ke serangan ke markas musuh, beliau telah berperang dengan Tentera Biasa dan Komando Soviet. Beliau turut serta di dalam semua operasi utama Jihad Afghan di antara tahun 1988 hingga 1993, termasuk penaklukan Jalalabad, Khost dan Kabul. Beliau terselamat dari maut beberapa kali, kerana masa beliau belum lagi tiba.

Seorang Mujahideen menceritakan bagaimana Khattab pada satu ketika ditembak di bahagian perut dengan sebutir peluru Mesingan Berat 12.7mm di Afghanistan. (Peluru 12.7mm digunakan untuk menebuk kereta perisai dan menembusi posisi pertahanan yang kuat: peluru ini menjadikan daging manusia seperti daging cincang, fakta yang diketahui oleh mana-mana pakar ketenteraan.):

"Ketika salah satu operasi, kami sedang duduk di dalam sebuah bilik sebuah rumah di Barisan Kedua. Hari sudah lewat dan pertempuran di Barisan Hadapan sangat hebat. Tidak beberapa lama kemudian, Khattab memasuki bilik tersebut; wajah beliau kelihatan pucat, tetapui selain daripada itu beliau berkelakuan seperti biasa. Beliau masuk ke dalam bilik, berjalan perlahan-lahan ke satu arah bilik tersebut dan duduk bersebelahan dengan kami. Khattab kelihatan luarbiasa diamnya, maka kami merasakan tentu ada sesuatu yang tidak kena, walaupun beliau tidak sedikitpun mengerutkan muka walaupun sekali mahupun menunjukkan apa-apa tanda kesakitan. Kami bertanyakan beliau samada beliau mendapat kecederaan; beliau menjawab bahawa ketika di Barisan Hadapan, beliau mendapat luka ringan, tiada apa-apa yang serius. Salah seorang dari kami kemudiannya pergi kepada beliau untuk melihat luka tersebut. Khattab enggan membenarkannya, terus mengatakan bahawa luka tersebut tidak serius. Mujahid tersebut terus memaksa Khattab untuk membenarkannya melihat dan kemudiannya beliau meletakkan tangannya ke bahagian perut Khattab. Pakaian Khattab basah dengan darah dan beliau mengalami pendarahan yang teruk. Kami kemudiannya terus memanggil sebuah kenderaan dan menghantar beliau ke hospital kami yang paling hampir; di sepanjang perjalanan beliau terus mengatakan bahawa kecederaan beliau itu ringan dan tidak serius."

Ketika Tentera Soviet berundur dari Afghanistan dan pihak Komunis telah dikalahkan oleh Mujahideen, Khattab dan sekumpulan kecil para Mujahideen mendapat tahu tentang peperangan menentang musuh yang sama, tetapi kali ini di Tajikistan. Beliau kemudiannya terus berkemas dan mara ke Tajikistan pada tahun 1993 bersama-sama dengan sekumpulan kecil para Mujahideen.

Dua tahun mereka di sana berperang dengan tentera Rusia di pergunungan yang bersalji tanpa senjata dan bekalan peluru yang secukupnya.

Ketika di Tajikistan Khattab kehilangan dua jari tangan kanannya ketika cuba membaling sebutir bom tangan buatan sendiri. Bom tangan tersebut meletup di tangan beliau dan dua daripada jari beliau cedera parah. Para Mujahid yang bersama-sama dengan beliau cuba menyuruh beliau pergi ke Peshawar untuk mendapatkan rawatan perubatan, tetapi Khattab enggan. Sebaliknya beliau meletakkan sedikit madu pada luka tersebut (seperti Sunnah Rasulullah SAW) dan membalutnya sambil menegaskan bahawa tidak perlulah beliau ke Peshawar. Jari-jari beliau kekal dalam balutan sedemikian sejak dari hari tersebut.

Selepas 2 tahun di Tajikistan, Khattab kembali bersama-sama dengan para Mujahideen yang bersama-sama dengan beliau ke Afghanistan, pada awal 1995. Pada ketika inilah peperangan di Chechnya meletus dan setiap orang keliru dengan pegangan agama bangsa Chechen dan kepentingan sudut keagamaan perang tersebut.

Khattab menggambarkan perasaan beliau apabila beliau melihat berita mengenai Chechnya di televisyen satelit pada suatu petang di Afghanistan:

"Apabila aku melihat kumpulan-kumpulan orang Chechen memakai kain lilit kepala dengan 'Laa ilaha illallah...' tertulis di atasnya dan melaungkan takbeer, aku memutuskan yang Jihad sedang berlangsung di bumi Chechnya dan aku mesti ke sana."

Dari Afghanistan, Khattab berangkat bersama-sama dengan sekumpulan lapanorang para Mujahid, terus ke Chechnya, tiba di sana pada musim bunga 1995. Empat tahun berikutnya menjadikan perjuangan Khattab di Afghanistan dan Tajikistan kelihatan seperti permainan anak-anak tadika. Menurut statistik rasmi Rusia, lebih ramai tentera Rusia terbunuh selama tiga tahun peperangan Chechnya daripada jumlah mereka yang terbunuh selama 10 tahun penjajahan Soviet di Afghanistan.

Khattab telah disertai pula oleh beberapa orang daripada para Mujahideen Afghan yang bersama-sama dengannya sebelum ini dan mereka mula melatih penduduk tempatan Chechen dalam ilmu peperangan dan juga ilmu Islam. Mereka melancarkan beberapa operasi nekad ke atas Rusia di bumi Chechnya (Khartashoi, 1995; Shatoi, 1996; Yashmardy, 1996) dan di Rusia sendiri (Dagestan 1997 dan kini, 1999).

Salah satu daripada operasi beliau yang paling nekad adalah serang hendap di Shatoi pada 16 April 1996, di mana beliau memimpin sekumpulan 50 orang Mujahideen menghancurkan sebuah konvoi 50 kenderaan tentera Rusia yang sedang dalam perjalanan meninggalkan Chechnya setelah menghancurkan satu perkampungan umat Islam. Sumber rasmi Tentera Rusia menyatakan bahawa 223 orang tentera Rusia terbunuh (termasuk 26 orang pegawai atasan) dan setiap kenderaan musnah sama sekali. Operasi ini membawa kepada pemecatan dua atau tiga orang General tertinggi tentera Rusia di Moskow dan Boris Yeltsin mengumumkan berita tentang operasi tersebut di Parlimen Rusia. Lima orang Mujahid gugur shahid di dalam operasi tersebut. Keseluruhan operasi tersebut berjaya difilemkan (ketika pertempuran sebenar) dan sedutan foto-foto dari filem tersebut boleh dilihat di Azzam Publications [bahagian Pustaka Foto]

Beberapa bulan selepas itu, para Mujahideen di bawah pimpinan beliau melancarkan satu serangan ke atas berek tentera Rusia, memusnahkan helikopter bersenjata Rusia dengan peluru berpandu anti-kereta-kebal AT-3 Sagger panduan wayar. Sekali lagi, keseluruhan operasi ini, termasuklah kemusnahan helikopter-helikopter tersebut berjaya difilemkan.

Sekumpulan dari pejuang-pejuang dari bawah pimpinan beliau juga mengambil bahagian dalam serangan ke atas Grozny pada Ogos 1996, diketuai oleh Shamil Basayev.

Beliau juga memimpin sekumpulan 100 orang Chechen dan Mujahideen Antarabangsa pada 22 Disember 1997 memasuki 100km ke dalam kawasan Rusia dan menyerang ibupejabat Briged Rifel Bermotor 136, Tentera Rusia. 300 kenderaan Tentera Rusia dimusnahkan dan ramai askar-askar Rusia terbunuh [Operasi Dagestan]. 2 orang Mujahideen gugur shahid (insha-Allah) dalam operasi ini, termasuklah salah seorang Komander tertinggi Khattab, Komander Abu Bakr Aqeedah.

Selepas Tentera Rusia berundur dari Chechnya pada musim luruh 1996, Khattab telah diberi penghargaan sebagai wira Chechnya. Beliau telah dianugerahkan dengan pingat keberanian dan ketabahan oleh Kerajaan Chechnya dan diberi pangkat rasmi sebagai Jeneral, di dalam sebuah majlis yang turut dihadiri oleh Shamil Basayev dan Salman Raduyev, dua komander paling penting dalam peperangan Chechnya. Sebelum Jeneral Jawhar Dudayev meninggal dunia, beliau juga sangat menghormati Khattab. Ini adalah penghormatan yang diterima atas tindakan, bukan perkataan semata-mata.

Khattab percaya akan Jihad melalui media. Beliau pernah dilaporkan berkata, "Allah SWT memerintahkan kita memerangi orang kafir sebagaimana mereka memerangi kita. Mereka memerangi kita dengan media dan propaganda, maka kita juga patut memerangi mereka dengan media kita." Atas sebab ini, beliau berkeras agar setiap operasi beliau difilemkan [bukan lakonan tetapi difilemkan ketika operasi berlangsung]. Dikatakan bahawa beliau mempunyai sebuah koleksi ratusan kaset video dari Afghanistan, Tajikistan dan Chechnya. Belia percaya bahawa perkataan semata-mata tidak mencukupi untuk menjawab tuduhan palsu media-media musuh. Beliau juga telah mengambil banyak keratan video kemusnahan Tentera Rusia dalam operasi Dagestan baru-baru ini, Ogos 1999, yang menunjukkan lebih 400 Tentera Rusia terbunuh, 10 kali ganda angka 'rasmi' Rusia, 40 orang askar terbunuh.

Khattab telah dikatakan oleh ramai umat Islam sebagai 'Khalid bin Waleed zaman ini'. Beliau benar-benar mengimani bahawa kematian beliau hanya akan tiba pada masa yang telah ditulis dan titetapkan oleh Allah SWT, tidak sedetik sebelum atau sedetik selepasnya. Beliau telah banyak kali melepaskan diri dari kematian dan cubaan membunuh beliau - cubaan yang paling hampir adalah ketika beliau sedang memandu trak empat tan Rusia, yang telah dibom oleh tentera Rusia. Trak tersebut telah meledak hingga berkecai tetapi Khattab selamat tanpa apa-apa kecederaan.

Beliau bijak, berani dan mempunyai sifat kepimpinan yang tinggi. Beliau sangat disukai oleh para Mujahid pimpinan beliau, tetapi dikenali sebagai seorang yang tidak boleh dibuat main-main. Beliau selalu mengambil berat tentang tenteranya, menyelesaikan apa-apa masalah peribadi dan memberikan mereka wang dari sakunya sendiri agar mereka boleh berbelanja. Beliau mempunyai satu kumpulan komander yang sangat terlatih dan berpengalaman, setiap seorang mampu mengambil-alih peranan beliau sekiranya beliau gugur.

Di dalam satu nasihat kepada umat Islam di serata dunia, beliau pernah berkata: "Perkara utama yang menghalang kita semua daripada berjihad adalah keluarga kita. Semua kami yang datang ke sini, datang tanpa kebenaran keluarga kami. Sekiranya kami telah mengikut kehendak mereka dan pulang ke rumah masing-masing, siapakah yang akan meneruskan kerja yang kami sedang lakukan ini? Setiap kali aku menelefon ibuku, malah sekarangpun, beliau akan memintaku pulang ke rumah, walaupun aku sudah 12 tahun tidak bertemu dengannya. Sekiranya aku pulang menziarahi ibuku, siapakah yang akan meneruskan kerja ini?"

Cita-cita Khattab adalah untuk terus berjuang menentang Rusia sehingga mereka meninggalkan setiap bumi umat Islam, dari Caucasus sehinggalah ke Republik Asia Tengah. Beliau pernah berkata, "Kita kenal Rusia dan kita tahu taktik mereka. Kita tahu kelemahan mereka; kerana itulah lebih mudah untuk kita menentang mereka berbanding tentera-tentera lain."

Propaganda palsu pihak media menuduh Khattab melaksanakan tindakan 'terrorist' di serata dunia. Sesiapa yang telah membaca artikel ini dengan fikiran yang terbuka tentu sedar bahawa sikap Khattab adalah bersemuka dengan musuh secara berhadapan. Dan sekiranya memerangi tentera dan askar yang memusnahkan kehidupanmu, menjadikan wanita-wanitamu janda dan anak-anakmu yatim, bermakna 'terrorism', maka biarlah sejarah menjadi saksi bahawa Khattab memang 'terrorist'.

Pada 1979, Soviet Union menakluk Afghanistan. 20 tahun kemudian, tiada lagi Soviet Union, dan apa yang tinggal darinya sedang ditakluk semula oleh para Mujahideen yang bangkit untuk menentang penaklukan asal tersebut - mungkin inilah kesilapan paling besar sebuah kerajaan pada abad ke-20 ini.

"Sekumpulan kecil. Merekalah yang meneruskan cita-cita ummah Islam ini. Dan sekumpulan yang lebih kecil lagi dari kumpulan kecil ini. Merekalah yang mengorbankan keinginan keduniaan peribadi mereka demi untuk bertindak dalam usaha memenuhi cita-cita tersebut. Dan sekumpulan yang lebih kecil dari kumpulan elit ini. Merekalah yang mengorbankan jiwa dan darah mereka demi mendapatkan kejayaan untuk cita-cita dan keyakinan ini. Maka, mereka adalah sekumpulan kecil dari sekumpulan kecil dari sekumpulan kecil." [Shaheed Dr Sheikh Abdullah Azzam, dibunuh 1989]

Sumber: Azzam Publications www.azzam.com , Ogos 1999 Selengkapnya...

Fatwa Fadhilah Syaikh Hamud bin Abdullah Uqala Asy-Syua'ibi Hafizhahullah

Assalamu'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuhu.

Pada masa sekarang ini, di dunia Islam, baik itu di Arab maupun selainnya telah banyak orang yang bersandar kepada hukum positif, sebagai pengganti dari hukum (syari'at) Allah, bagaimanakah hukum bagi para penguasa seperti itu? Kami memohon jawaban jawaban yang memuaskan dengan dalil-dalil syar'iyah dari Al-Qur'an dan As-sunnah dan pendapat-pendapat para ulama.

Jawab:

Segala puji bagi Allah,shalawat dan salam atas seutama-utama para Nabi dan Rasul, nabi kita Muhammad s.a.w, dan para sahabatnya, semuanyamien.

Sesungguhnya Allah Subhaanahu Wa-Ta'ala, ketika mengutus nabi-Nya Muhammad s.a.w, dengan membawa dien yang lurus ini, yang mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya, padahal manusia di waktu itu berada dalam kegelapan berupa kejahilan dan kesesatan,mereka tenggelam dalam lautan Khurafat dan taqlid membabi buta, yang semua itu merupakan warisan dari nenek-moyang terdahulu, dalam seluruh urusan mereka, dalam masalah aqidah dan ibadah, dan keputusan dan mahkamah, maka semua itu didasarkan atas kesyirikan terhadap Allah Subhaanahu Wa-Ta'ala. Mereka menjadikan pohon-pohon dan bebatuan, malaikat, jin dan manusia, serta yang lainnya sebagai tandingan selain Allah. Manusia di kala itu mendekatkan diri kepada apa yang telah disebutkan tadi dengan perbuatan yang perbuatan tersebut tidak patut dilakukan kepada selain Allah, misalnya penyembelihan, nadzar dan lainnya.

Adapun mengenai hukum-hukum dan ketetapan, maka tidak kurang kesesatan dan kerusakan mereka dari kesesatan dalam beribadah. Mereka mempercayakan urusan mereka kepada Thaghut-thagut, dukun-dukun dan tukang ramal. Mereka menjadikan semua itu sebagai tempat berwali sesama manusia, dalam seluruh masalah yang timbul di antara mereka, baik dalam masalah harta benda,darah,masalah seksual dan selainnya.

Mereka mengisi setiap aspek kehidupannya dengan hukum-hukum para thaghut itu. Jika suatu hukum telah ditetapkan,maka hukum itu tidak terbantahkan, berlaku mutlak, tidak berlaku kritik, tidak peduli apakah yang menetapkan itu jahat lagi Zhalim. Ketika Allah mengutus Muhammad s.a.w dengan membawa syari'at yang suci ini, maka syari'at tersebut menghapuskan adat kaum musyrikin,taqlid dan segala bentuk penetapan hukum. Jadilah ibadah hanya ditujukan kepada Allah s.w.t semata-mata, hukum-hukum dan ketetapan dibatasi hanya kepada Syari'at Allah:

Firman Allah:

"Sesungguhnya hukum itu milik Allah, Dia memerintakan agar kamu tidak beribadah kecuali hanya kepada-Nya (Ayat). Firman-Nya :"sesungguhnya hukum itu hanya milik Allah" menunjukkan pembatasan hukum hanya kepada syariat Allah, dan firman-Nya :"Dan Janganlah kamu beribadah kecuali hanya kepada-Nya" menunjukkan bahwa Allah s.w.t membatasi Ibadah yang dilakukan oleh manusia hanya kepada Allah s.w.t saja, dengan sebaik-baik cara pembatasan, ini merupakan an-nafyu (peniadaan) dan Al-itsna (pengecualian), maksudnya: Dilarang beribadah, kecuali hanya kepada Allah.

Sesungguhnya mereka yang mempelajari Kitabullah, akan mendapati banyak ayat yang menunjukkan wajibnya berhukum kepada apa yang Allah turunkan, yang merupakan syari'at yang suci, kepada Nabi Muhammad s.a.w:

1.Firman Allah, artinya : "Dan barangsiapa tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir"

Ayat suci ini merupakan nash tentang kafirnya barangsiapa berpaling dari hukum Allah dan Rasul-Nya kepada selainnya.

Orang-orang bodoh dari kalangan murjiah modern memalingkan pengertian ayat tentang kafirnya penguasa (hakim) yang menghukumi dengan hukum selain apa yang diturunkan oleh Allah ini, mereka mengatakan: Ayat ini diturunkan kepada Yahudi, hukum dalam ayat itu tidak mencakup diri kita.

Ini menunjukkan kejahilan mereka dengan kaedah usul, yang diletakkan oleh para ulama tafsir, ulama hadits dan ulama ushul fiqih, yaitu, bahwa 'Al-Ibrah Bi-'Umuumil Lafzhi, Laa Bikhushuusis Sabab" ( Pengambilan pelajaran/ibrah itu berdasarkan keumuman lafal, bukan berdasarkan sebab khusus turunnya ayat), jika suatu hukum telah turun dengan sebab tertentu, maka ayat itu tidak hanya terbatas terhadap sebab turunnya, bahkan ayat tersebut meliputi dan mencakup terhadap siapa saja yang termasuk dalam kata 'Barangsiapa'. Maka kata 'Barangsiapa' dalam ayat tersebut dalam sighah (bentuk) umum, sehingga hukumnya tidak terbatas pada sebab turunnya ayat berkenaan, kecuali jika ada keterangan lain dari syari'at yang menerangkan kekhususan ayat tersebut. Misalnya dalam sabda Rasulullah s.a.w, ketika salah seorang sahabat radhiyallaahu 'anhu bertanya: Wahai rasulullah, sesungguhnya aku lebih suka berqurban dengan anak kambing betina daripada anak kambing jantan, bolehkah begitu wahai Rasulullah? Lalu beliau s.a.w menjawab: dibolehkan hanya untukmu, akan tetapi tidak boleh untuk seseorangpun setelah kamu"

Dan mereka (yaitu Murji-ah) berkata pula: "Telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.anhuma, bahwasanya ia ditanya tentang tafsir ayat : "Dan barangsiapa tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan, maka mereka itu termasuk orang-orang yang kafir", lalu ibnu Abbas berkata: Kufrun Duuna Kufrin, dan dalam riwayat lain: bukan kafir sebagaimana mereka maksudkan.

Jawaban untuk masalah ini ialah kami katakan bahwa: Hisyam bin Hujair, meriwayatkan atsar ini dari Thaawus dari Ibnu Abbas. Pembicaraan tentang ini terjadi sebelum adanya imam-imam hadits seperti Imam Ahmad, Yahya bin Ma'in selain mereka berdua. Terdapat riwayat lain yang bertentangan dengan hadits dari Thawus ini, dimana riwayat tersebut lebih kuat, yang datang dari Abdullah bin Thawus. Ia (Abdullah bin Thawus) meriwayatkan dari ayahnya (dari Thawus) bahwa Ibnu Abbas, ketika ditanya tentang tafsir ini Ia menjawab: yang dimaksud adalah kafir!.

2- Firman Allah: "Maka demi Rabb (Tuhan) mu, tidak dikatakan beriman sehingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai pemutus hukum terhadap masalah yang ada di antara mereka, kemudian tidak terdapat dalam hati mereka keberatan terhadap apa yang kamu putuskan, dan mereka berserah diri sepenuh-penuh penyerahan" ( An-nisa:65)

Ayat ini menjelaskan tentang tidak adanya Iman terhadap siapa yang tidak menghukumi dengan syariat Allah, karena Allah bersumpah di dalamnya, bahwa seseorang tidak ada imannya sampai di dalam dirinya terdapat Tiga sifat sebagai berikut:

1. Berhukum kepada syari'at Allah.

2. Tidak terdapat rasa berat dalam dirinya dalam hal tersebut, bahkan ia ridha dengan hukum Allah.

3. Ia berserah diri sepenuhnya kepada hukum Allah dan ridha dengannya.

Kaum Murjiah itu, disamping memalingkan pengertian ayat tentang kafirnya penguasa yang berhukum dengan selain apa yang Allah turunkan, mereka juga memalingkan ayat yang menunjukkan tidak adanya Iman bagi mereka yang tidak berhukum dengan selain hukum Allah. Mereka katakan: yang dimaksud penafian (peniadaan) iman dalam ayat tersebut adalah tidak adanya kesempurnaan Iman, bukan peniadaan dalam arti yang sebenarnya. Orang-orang bodoh itu tidak mengerti bahwa asal kalimat dalam bahasa Arab itu adalah arti yang sebenarnya, tidak dapat dipalingkan kepada pengertian Majaaz (kiasan), kecuali jika ada dalil lain yang wajib memalingkan dari pengertian asal yang jelas kepada pengertian yang lain. Maka dalam konteks ayat diatas, dalil apa, dan qariinah (dalil pembanding) apa yang mengharuskan memalingkan arti asal ini yang menyebutkan tiadanya Iman kepada 'tiadanya kesempurnaan Iman' ?

3.Firman Allah : "Tidakkah engkau perhatikan orang-orang yang menyangka bahwa mereka beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan apa-apa yang diturunkan sebelum kamu. Mereka hendak berhukum kepada Thaghut, padahal mereka telah diperintah untuk mengingkari thaghut. Syaitan hendak menyesatkan mereka dengan kesesatan yang jauh. Dan jika dikatakan kepada mereka marilah berhukum kepada apa yang Allah turunkan dan kepada Rasulullah, maka kalian lihat orang-orang munafiq itu menghalangi manusia dengan sekuat-kuatnya dari mendekati kamu " (An-Nisa (4):60-61)

Ayat yang mulia ini menerangkan bahwa barangsiapa berhakim kepada Thaaghuut, atau menghukumi dengan hukum thaghut, maka telah hilang iman dari dirinya, dengan dalil firman Allah "Mereka menyangka beriman", artinya jika mereka masih terhitung sebagai orang-orang beriman, tentulah tidak disebutkan "mereka menyangka mereka beriman", ketika Allah menggambarkan mereka dengan kalimat "Mereka menyangka mereka beriman", berarti menunjukkan bahwa keimanan mereka terhadap Allah telah hilang dalam arti yang sebenarnya. Sebagaimana dalam firman Allah Ta'ala "Padahal mereka telah diperintahkan untuk mengkafiri (mengingkari)nya. Dan syaitan hendak menyesatkan mereka dengan penyesatan yang jauh",ini pun merupakan dalil bahwa iman telah hilang dari diri mereka. Akan semakin jelas kafirnya orang yang berhukum kepada Thaghut, atau menghukumi dengan hukum thagut dengan memahami sebab turunnya ayat tersebut; para mufasirin menyebutkan bahwa sebab turunnya ayat ini adalah, bahwa suatu ketika terjadi sengketa antara Yahudi dan non Yahudi. Yahudi itu berkata: "Kita angkat masalah ini kepada Rasulullah" tapi yang bukan Yahudi itu malah berkata: "Kita adukan saja masalah ini kepada Ka'ab Al-Asyraf Al-Yahuudi", maka turunlah ayat ini.

Asy-Sya'abi berkata, terdapat sengketa antara seorang dari kalangan munafiqin dan seorang Yahudi, si Yahudi ini berkata; Kita angkat masalah ini kepada Nabi Muhammad, karena dia tahu bahwa Nabi Muhammad s.a.w tidak mungkin menerima risywah (suap),tapi si munafiqin malah berkata: "Kita berhukum saja kepada Yahudi, karena dia tahu bahwa Yahudi mau menerima suap, lalu mereka berdua sepakat untuk mendatangi seorang dukun di Juhainah, dan mereka berdua berhukum kepadanya, lalu turunlah ayat.."Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang menyangka. Atsar ini datang dari Asy-Sya'bi, jikalaupun di dalamnya terdapat kelemahan, akan tetapi syahid (saksi) yang berbeda-beda yang memperkuat kedudukannya. Diantara kesaksian hadits yang menyebabkan turunnya ayat ini ialah bahwa Umar bin Khaththab r.a membunuh lelaki yang tidak ridha dengan keputusan Nabi Muhammad s.a.w. Jikalah orang itu tidak murtad, tentu saja Umar bin Khaththab r.a tidak membunuhnya.

Sebagaimana diriwayatkan dari Urwah bin Zubair, bahwa dia berkata: Dua orang lelaki bersengketa dan mengangkat masalah mereka kepada Rasulullah s.a.w.Lalu beliau memenangkan perkara salah satu diantara mereka. Lelaki yang kalah dalam perkara itu berkata : "Kami adukan masalah ini kepada Umar r.a, lalu Rasulullah s.a.w bersabda: "Ya. Berangkatlah kalian kepada Umar" keduanya lalu berangkat dan mendatangi Umar. Lelaki yang menang dalam perkara itu berkata: "Wahai Ibnul Khaththab; Sesungguhnya Rasulullah s.a.w memenangkan perkaraku, tapi dia ini (lawan perkaranya) berkata: 'kita adukan saja masalah in kepada anda" Lalu rasulullah mengembalikan perkara ini kepada anda, Umar lalu bertanya kepada lelaki yang kalah berperkara : "Apa betul demikian?", "Ya', jawab lelaki itu. Umar berkata: "Tetaplah kalian di tempat masing-masing, sampai aku kembali dan menetapkan urusan kalian berdua" Ia lalu keluar dengan membawa pedang terhunus, dan memenggal orang yang berkata :"Kita adukan saja kepada Umar"

Jalan cerita yang berbeda dalam kisah diatas tidak mempengaruhi kepastian hal tersebut, karena berbilangnya riwayat mengenai itu. Sebagaimana dalam firman Allah Ta'ala : Dan apabila dikatakan kepada mereka ;"Marilah kepada apa yang Allah turunkan dan kepada Rasul, kalian akan lihat orang-orang Munafiq itu menghalangi manusia dengan sekuat-kuat halangan dari padamu" menunjukkan bahwa orang-orang yang menghalangi dari hukum Allah dan Rasul-Nya dan berpaling daripadanya lalu berhukum dengan hukum selainnya, maka dia adalah Munafiq, dan munafiq -dalam konteks ini- adalah kafir.

Sebagaimana orang yang berhukum kepada undang-undang positif adalah kafir, seperti telah disebutkan terdahulu, maka mereka yang membuat undang-undang dan menetapkan dengannya adalah termasuk kafir juga. Karena dengan pembuatan syari'at dan penetapan undang-undang untuk manusia, berarti dia telah menjadi sekutu bagi Allah S.W.T dalam masalah pensyariatan. Firman Allah: Apakah mereka memiliki tandingan-tandingan yang membuat undang-undang buat mereka dalam masalah dien (agama) dengan apa yang tidak mendapat izin dari Allah?". Firman Allah yang lainnya: "Dan tidaklah ia patut memiliki satupun sekutu dalam masalah hukum". Firman Allah yang lainnya: "Mereka menjadikan pendeta-pendeta mereka dan rahib-rahib mereka sebagai Arbab (tuhan-tuhan) selain Allah" Ketika Adi bin Hatim mendengar ayat ini, ia berkata : 'Ya Rasulullah, sesungguhnya kami tidak menyembah mereka" Rasulullah s.a.w lalu menjawab: "Bukankah mereka mengharamkan apa yang Allah halalkan lalu kamupun ikut mengharamkannya, dan bukankah mereka menghalalkan apa yang Allah haramkan lalu kamupun ikut menghalalkannya?" "Betul", jawa Adi bin Hatim, lalu Rasulullah s.a.w bersabda: "Itulah bentuk penyembahan/peribadatan mereka"

Teranglah dari ayat suci dan hadits tentang Adi bin Hatim, bahwa At-Tahlil (penghalalan) dan At-Tahrim (pengharaman) dan tasyri' (pensyariatan) adalah merupakan kekhususan bagi Allah s.w.t, maka barangsiapa menghalalkan atau mengharamkan atau mensyariatkan apa-apa yang menyalahi syari'at Allah, berarti dia telah menjadi sekutu bagi Allah dalam kekhususannya .

Dari ayat-ayat terdahulu dan komentar kami tentangnya, jelaslah bahwa barangsiapa yang berhukum dengan selain apa yang Allah turunkan dan berpaling dari syari'at Allah dan hukum-Nya, maka dia kafir terhadap Allah yang Maha Agung, dia telah keluar dari Islam. Demikian juga orang-orang yang semisal itu, yang membuat UU positif bagi manusia, karena sesungguhnya jika dia tidak ridha terhadapnya tentulah dia tidak akan berhukum dengannya. Banyak dari kalangan penguasa yang memiliki 'kepentingan' tertentu yang 'menomorsekiankan' hukum Allah dan berusaha merubah hukum,atau malah membuangnya.

Jika kita katakan bahwa mereka ,para penguasa itu ,tidak membuat hukum dan tidak membuat syari'at untuk bangsa mereka, lalu siapakah yang menetapkan kewajiban kepada rakyat supaya komitmen dengan hukum tersebut dan sekaligus mengenakan sanksi terhadap orang yang menyelisihinya?

Ini tidak jauh berbeda, persis sebagaimana keadaan Tartar, dimana Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim rahimahumaallaahu menukil ijma' bahwa mereka adalah kafir. Bangsa Tartar tidak membuat dan menetapkan syari'at Ilyasiq, tetapi yang membuatnya adalah salah seorang dari penguasa mereka, yaitu Jengis Khan, maka keadaan penguasa hari ini, sama dengan keadaan penguasa di masa Tartar.

Karena itu, semakin jelas bahwa pelaksana hukum selain apa yang Allah turunkan menjadi kafir dengan sebab:

1. Sebab pertama, dari sisi tasyri' (pensyariatan), jika dia membuat syari'at.

2. Kedua, dari segi hukum, jika dia berhukum.

Diatas telah disebutkan nash-nash yang menunjukkan kafirnya orang yang menghukumi dengan undang-undang positif (undang-undang buatan manusia). Sekarang akan saya sebutkan pendapat para ulama tentang kafirnya orang-orang yang menghukumi dengan uu positif:

Pertama: Syaikhul Islam Taqiyuddin Ibnu Taimiyah, sebagaimana disebutkan dalam Al-Fatawa 3/267

Ketika seseorang menghalalkan apa yang menurut Ijma adalah haram, dan sebaliknya mengharamkan apa yang menurut ijma adalah halal, atau mengganti syari'at yang telah ijma' akan kebenarannya, maka orang tersebut telah kafir berdasarkan kesepakatan para fuqaha (ahli fiqih)

Dia berkata pula dalam Al-Fatawa 35/372:

Ketika seorang alim meninggalkan apa yang telah diketahuinya dari kitabullah dan sunnah rasul-Nya dan mengikuti hukum penguasa yang menyalahi hukum Allah dan rasul-Nya, maka ketika itulah dia murtad dan kafir, ia layak dihukum di dunia dan akhirat.

Kedua : Ibnu Katsir berkata dalam Al-Bidayah wan-Nihayah 13/119:

Barangsiapa meninggalkan syariat yang telah mantap yang diturunkan kepada nabi Muhammad, penutup para nabi, alaihis Sholaatu was Salaam, dan berhukum kepada selainnya, yaitu syari'at yang telah terhapus (hukum kafir), maka dia kafir. Lalu bagaimana dengan orang yang berhukum kepada hukum Ilyasiq dan lebih mendahulukannya daripada hukum Islam? Barangsiapa melakukan hal tersebut, maka dia telah kafir berdasarkan Ijma' kaum Muslimin.

Ketiga : Berkata syaikh kami, Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syanqithi rahimahullah, setelah ia menyebut nash-nash yang menunjukkan kafirnya orang-orang yang menghukumi dengan hukum buatan manusia (hukum positif):

Dengan nash-nash samawiyah (yang diturunkan dari langit, Alqur'an) yang telah kita sebutkan, akan nampak sejelas-jelasnya bahwa orang-orang yang mengikuti undang-undang buatan manusia yang telah disyariatkan oleh Syaitan di atas lidah-lidah wali-wali syaitan, yang semua itu menyelisihi apa yang telah disyariatkan oleh Allah Jalla Wa Alaa' di atas lisan Rasul-Nya ShallaLlaahu 'Alaihi Wasallam, maka tidak diragukan lagi tentang kekafiran dan kesyirikan mereka,(hal ini dapat diketahui oleh semua orang) kecuali bagi orang yang telah Allah tutup dan butakan penglihatannya dari melihat cahaya wahyu.

Keempat : Syaikh kammi, Muhammad bin Ibrahim Aalu Syaikh dalam komentarnya terhadap firman Allah: "Maka demi Rabbmu, tidak beriman (An-Nisa:65), ia berkata: Allah S.W.T telah menganggap tidak ada iman bagi siapa yang tidak berhukum kepada Nabi s.a.w dalam masalah yang timbul diantara mereka, ini suatu penafian muakkad (tegas) dengan mengulangi aadatun nafiy dengan sumpah. Demikian yang dikatakan olehnya rahimahullah, dalam ta'liqnya mengenai ayat ini.

Saya sendiri menghadiri halaqahnya, rahimahullah, selama bertahun-tahun. Saya mendengarnya berkali-kali, lebih dari sekali, ia sangat menekankan benar masalah ini, beliau menjelaskan tentang kafirnya siapa yang berhukum kepada selain syariat Allah, sebagaimana ia jelaskan dalam risalah Tahkiimul Qawaaniin .

Kelima : Syaikh kami, syaikh Abdul Azin bin Bazz Rahimahullah, dalam risalahnya : Naqadah Al-Qaumiyah Al-Arabiyah hal 39 menyebutkan tentang siapa yang menjadikan hukum yang menyelisihi Al-Qur'an ,maka ini adalah kerusakan yang besar, dan merupakan kekafiran yang nyata, murtad secara terang-terangan, sebagaimana firman Allah: ""Maka demi Rabb (Tuhan) mu, tidak dikatakan beriman sehingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai pemutus hukum terhadap masalah yang ada di antara mereka, kemudian tidak terdapat dalam hati mereka keberatan terhadap apa yang kamu putuskan, dan mereka berserah diri sepenuh-penuh penyerahan" ( An-nisa:65) dan firman Allah: 'Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan siapakah yang lebih baik hukumnya daripada hukum Allah, bagi orang-orang yang yakin..sampai kepada kata-kata: dan setiap negara yang tidak berhukum dengan hukum Allah, dan tidak menyerahkan urusan kepada hukum Allah, maka negara tersebut adalah negara Jahiliyah, Kafir, Zhalim fasiq sesuai dengan nash ayat muhkamat (tegas) ini, wajib bagi orang Islam untuk membencinya dan memusuhiny Karena Allah, dan haram bagi kaum Muslimin memberikan wala (lebih luas dari sekedar loyalitas) dan menyukainya, sampai negeri itu beriman kepada Allah Yang Maha Esa, dan berhukum dengan syariat-Nya. Selesai

Apa yang telah saya sebutkan dari nash-nash dan pendapat para ulama, cukup kiranya untuk menjelaskan bahwa melaksanakan hukum positif adalah kafir. Dan menetapkan uu positif sebagai hukum adalah kafir kepada Allah Yang Maha Agung. Sekiranya saya nukil lagi pendapat-pendapat para ulama ummat ini dan imam-imamnya dalam bab ini, niscaya akan panjang lagi pembicaraannya. Semoga jawaban ini mencukupi bagi penanya. Dan shalawat ata nabi kita Muhammad dan keluarganya, dan sahabatnya semua.

Didiktekan oleh A.Hamud Bin Uqala Asy-Syu'aibi.

10/2/1422 H

Selengkapnya...

Thogut, Penjelasannya.

Iman seorang hamba tidak syah sampai dia mengkafiri thoghut. Alloh berfirman:

فمن يكفر بالطاغوت ويؤمن بالله فقد استمسك بالعروة الوثقى

“Maka barang siapa yang kufur terhadap thoghut dan beriman kepada Alloh maka dia telah berpegang dengan tali yang sangat kuat.” (Al-Baqoroh: 256)

Dan ayat ini merupakan tafsiran syahadat laa ilaaha illalloh, yang berisi nafyu dan itsbat;

An-Nafyu artinya meniadakan peribadahan dari setiap apa yang diibadahi selain Alloh. Hal ini direalisasikan dengan meyakini batilnya beribadah kepada selain Alloh, meninggalkan peribadahan itu, membencinya, mengkafirkan pelakunya dan memusuhi mereka. Inilah yang dimaksud dengan mengkufuri thoghut. Hal ini sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.

Dan al-Itsbat artinya menetapkan peribadahan hanya untuk Alloh semata, dengan mengarahkan semua bentuk peribadahan hanya kepada Alloh semata. Dan inilah yang dimaksud dengan beriman kepada Alloh yang disebutkan dalam ayat di atas.

Ibnu Katsir berkata: “Dan firman Alloh:

فمن يكفـر بالطاغـوت ويؤمـن بالله فقد استمسك بالعروة الوثقى لا انفصام لها

“Maka barang siapa yang kufur terhadap thoghut dan beriman kepada Alloh maka dia telah berpegang dengan tali yang sangat kuat. Tidak akan putus tali itu” (Al-Baqoroh: 256)

Maksudnya barangsiapa yang meninggalkan tandingan-tandingan, berhala-berhala dan segala yang diserukan oleh syaitan untuk diibadahi selain Alloh, lalu mentauhidkan Alloh dengan beribadah hanya kepadanya dan bersaksi bahwasanya tidak ada ilah yang diibadahi secara benar kecuali Alloh ‘maka dia telah berpegang dengan tali yang sangat kuat’ maksudnya ia telah kokoh urusannya dan istiqomah pada jalan yang paling baik dan pada jalan yang lurus.”

Kemudian Ibnu Katsir menukil dari Umar ibnul Khothob bahwa thoghut itu adalah syetan. Dan Ibnu Katsir berkata: “Yang dimaksud dengan thoghut dalam firman Alloh adalah syetan, arti ini sangat kuat, karena nencakup segala kejelekan orang-orang jahiliyah yang berupa beribadah kepada berhala, berhukum kepadanya dan miminta pertolongan kepadanya.” (Tafsir Ibnu Katsir I/311). Dan pada I/512 Ibnu Katsir berkata: “Perkataan Umar itu juga dikatakan oleh Ibnu Abbas, Abul ‘Aliyah, Mujahid, ‘Atho’, Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Asy-Sya’bi, Al-Hasan, Adl-dlohak dan As-Saddi.

Dan Ibnu Katsir menukil dari Jabir rodliyallohu ‘anhu, bahwa thoghut itu adalah: Para dukun yang disinggahi syetan.

Dan dia juga menukil dari Mujahid bahwa thoghut itu artinya; Syetan dalam bentuk manusia yang di datangi untuk memutuskan perkara, dan dia yang menguasai urusan mereka.

Dan dia menukil dari Imam Malik bahwa thoghut itu artinya adalah; segala sesuatu yang diibadahi selain Alloh swt.

Dan dalam menafsirkan firman Alloh:

ألم تر إلى الذين يزعمون أنهم آمنوا بما أنزل إليك وماأنزل من قبلك يريدون أن يتحاكموا إلى الطاغوت وقد أمِروا أن يكفروا به

Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengkufuri thaghut itu. (QS. 4:60)

Ibnu Katsir berkata: “Ayat ini lebih umum dari pada itu semua, sesungguhnya ayat itu merupakan celaan bagi setiap orang yang menyeleweng dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta berhukum kepada selain keduanya. Dan inilah yang dimaksud dengan thoghut di sini.” (Tafsir Ibnu Katsir I/619).

Ibnul Qoyyim berkata: “Thoghut adalah segala sesuatu yang mana seorang hamba itu melampaui batas padanya, baik berupa sesuatu yang diibadahi atau diikuti atau ditaati. Maka thoghut adalah segala sesuatu yang dijadikan pemutus perkara oleh suatu kaum, selain Alloh dan rosulNya, atau mereka ibadahi selain Alloh, atau mereka ikuti tanpa berdasarkan petunjuk dari Alloh, atau mereka taati pada perkara yang mereka tidak tahu bahwa itu ketaatan kepada Alloh. Inilah thoghut didunia ini, apabila engkau renungkan keadaan manusia bersama thoghut ini engkau akan melihat mereka kebanyakan berpaling dari berhukum kepada Alloh dan RosulNya lalu berhukum kepada thoghut, dan berpaling dari mentaati Alloh dan mengikuti rosulNya lalu mentaati dan mengikuti thoghut.” (A’lamul Muwaqqi’in I/50)

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengatakan: “Thoghut itu pengertiannya umum; maka setiap apa yang diibadahi selain Alloh dan dia rela dengan peribadahan itu, baik berupa sesuatu yang disembah atau diikuti atau ditaati selain ketaatan kepada Alloh dan rosulNya adalah thoghut. Thoghut itu banyak dan kepalanya ada lima:

Pertama; Syetan yang menyeru untuk beribadah kepada selain Alloh, dalilnya adalah:

ألم أعهد إليكم يابني آدم أن لاتعبدوا الشيطان إنه لكم عدو مبين

Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu hai Bani Adam supaya kamu tidak menyembah syaitan? Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagi kamu", (QS. 36:60)

Kedua; Seorang penguasa yang dzolim yang merubah hukum-hukum Alloh. Dalilnya adalah:

ألم تر إلى الذين يزعمون أنهم آمنوا بما أنزل إليك وماأنزل من قبلك يريدون أن يتحاكموا إلى الطاغوت وقد أمِروا أن يكفروا به ويريد الشيطان أن يضلهم ضلالا بعيداً

Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. (QS. 4:60)

Ketiga; Orang yang memutuskan perkara dengan selain apa yang diturunkan Alloh. Dalilnya adalah:

ومن لم يحكـم بما أنـزل اللـه فأولئــك هم الكافرون

Barang siapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-oang yang kafir. (QS. 5:44)

Keempat; Orang yang mengaku mengetahui hal-hal yang ghoib selain Alloh. Dalilnya adalah :

عالـم الغيب فلا يُظهر على غيبه أحداً، إلا من ارتضى من رسول، فإنه يسلك من بين يديه ومن خلفه رصداً

(Dia adalah Rabb) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya. (QS. 72: 26 - 27)

Dan Alloh berfirman:

وعنده مفاتح الغيب لايعلمها إلا هو، ويعلم مافي البر والبحر، وماتسقط من ورقة إلا يعلمها ولا حبة في ظلمات الأرض ولا رطب ولا يابس إلا في كتاب مبين

Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir bijipun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melaimkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh). (QS. 6:59)

Kelima; Orang yang diibadahi selain Alloh dan dia rela dengan ibadah itu. Dalilnya adalah:

ومن يقل منهم إني إله من دونه فذلك نجزيه جهنم، كذلك نجزي الظالمين

Dan barangsiapa diantara mereka mengatakan:"Sesungguhnya aku adalah ilah selain daripada Allah", maka orang itu Kami beri balasan dengan Jahanam, demikian Kami memberi balasan kepada orang-oramg zhalim. (QS. 21:29)

(Dinukil dari Risalah Ma’na Ath-Thoghut, tulisan Muhammad bin Abdul Wahhab, yang terdapat dalam Majmu’atut Tauhid cet. Maktabah Ar-Riyadl Al-Haditsh, hal. 260.)

Adapun Syeikh Muhammad bin Hamid Al-Faqiy mengatakan tentang definisi Thoghut: “Yang dapat disimpulkan dari perkataan ulama’ salaf, bahwasanya thoghut itu adalah segala sesuatu yang menyelewengkan dan menghalangi seorang hamba untuk beribadah kepada Alloh, dan memurnikan agama dan ketaatan hanya kepada Alloh dan rosulNya saja. Sama saja apakah thoghut itu berupa jin atau berupa manusia atau pohon atau batu atau yang lainnya. Dan tidak diragukan lagi masuk dalam pengertian ini; memutuskan hukum dengan undang-undang di luar Islam dan syari’atnya, dan undang-undang yang lainnya yang dibuat oleh manusia untuk menghukumi pada permasalah darah, seks dan harta, untuk menyingkirkan syari’at Alloh seperti melaksanakan hukum hudud, pangharaman riba, zina, khomer dan lainnya yang dihalalkan dan dijaga oleh undang-undang tersebut. Dan undang-undang itu sendiri adalah thoghut, dan orang-orang yang membuat dan menyerukannya adalah thoghut. Dan hal-hal yang serupa dengan itu seperti buku-buku yang dibuat berdasarkan akal manusia untuk memalingkan dari kebenaran yang dibawa oleh rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, baik dengan sengaja maupun tidak sengaja, semuanya itu adalah thoghut.” (Catatan kaki hal. 287 dalam kitab Fathul Majid, karangan Abdur Rohman bin Hasan Alu Asy-Syaikh, cet. Darul Fikri 1399 H.)

Adapun Syaikh Sulaiman bin Samhan An-Najdi berkata: “Thoghut itu tiga macam: thoghut dalam hukum, thoghut dalam ibadah dan thoghut dalam ketaatan dan pengikutan.” (Ad-Duror As-Sunniyah VIII/272)

Saya ringkaskan dari uraian di atas : “Sesungguhnya pendapat yang paling mencakup pengertian thoghut adalah pendapat yang mengatakan bahwa thoghut itu adalah segala apa yang diibadahi selain Alloh – dan ini adalah perkataan Imam Malik – dan pendapat yang mengatakan; sesungguhnya thoghut itu adalah syetan – dan ini adalah perkataan mayoritas sahabat dan tabi’in – adapun selain dua pendapat ini merupakan cabang dari keduanya. Dan dua perkataan ini kembali kepada dua kepada satu pokok yang mempunyai hakekat dan mempunyai wujud. Barangsiapa yang melihat kepada wujudnya maka dia mengatakan bahwa thoghut itu adalah segala sesuatu yang diibadahi selain Alloh, dan barang siapa yang melihat kepada hakekatnya maka dia mengatakan thoghut itu syetan. Hal itu karena syetan itulah yang mengajak untuk beribadah kepada selain Alloh, selain dia juga mengajak untuk melakukan setiap kejahatan. Alloh berfirman:

ألم تر أنا أرسلنا الشياطين على الكافرين تؤزّهم أزاً

Tidakkah kamu lihat, bahwasanya Kami telah mengirim syaitan-syaitan itu kepada orang-orang kafir untuk menghasung mereka membuat ma'siat dengan sungguh-sungguh, (QS. 19:83)

Dengan demikian setiap orang yang kafir dan setiap orang yang beribadah kepada selain Alloh, maka ia melakukan itu karena ditipu oleh syetan, dan setiap orang yang beribadah kepada selain Alloh, pada hakekatnya dia beribadah kepada syetan. Alloh berfirman:

ألم أعهد إليكم يابني آدم ألا تعبدوا الشيطان

Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu hai Bani Adam supaya kamu tidak menyembah syaitan? (QS. 36:60)

Dan Alloh berfirman tentang Ibrohim:

ياأبت لاتعبد الشيطان

Wahai bapakku janganlah kamu menyembah syetan. (Maryam: 44)

Padahal bapaknya menyembah berhala, sebagaimana firmanAlloh:

وإذ قال إبراهيم لأبيه آزر أتتخذ أصناما آلهة

Dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya Aazar:"Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai ilah-ilah. ". (QS. 6:74)

Jadi syetan itu adalah thoghut yang paling besar, sehingga barang siapa yang beribadah kepada berhala baik itu batu atau pohon atau manusia maka sebenarnya dia beribadah kepada syetan. Dan setiap orang yang memutuskan perkara kepada manusia, atau undang-undang selain Alloh, maka sebenarnya dia itu memutuskan perkara kepada syetan, dan inilah yang dimaksud dengan berhukum kepada thoghut.

Dengan demikian barangsiapa yang mengatakan dengan ungkapan umun dan ditinjau dari wujudnya, dia akan mengataka (bahwa thoghut itu adalah); segala sesuatau yang diibadahi selain Alloh. Dan barang siapa yang mengatakan dengan ungkapan umum dan ditinjau dari hakekatnya, dia akan mengatakan thoghut itu syetan, sebagaimana yang kami nukil di atas.

Dan barang siapa yang mengatakan dengan ungkapan yang terperinci dan ditinjau dari wujudnya, dia akan mengatakan (bahwa thoghut itu adalah) segala sesuatau yang disembah atau diikuti atau ditaati atau didatang untuk memutuskan perkara selain Alloh, dan ini adalah perkataan Ibnul Qoyyim, dan perkataan Sulaiman Bin Samhan dekat dengan ini. Semua ini kembali kepada makna ibadah. Dan ittiba’ (ikut), taat dan berhukum itu semuanya adalah ibadah yang tidak boleh dilakukan kecuali kepada Alloh. Sebagaimana firman Alloh:

اتبعوا ماأنزل إليكم من ربكم ولا تتبعوا من دونه أولياء

Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selainNya. (QS. 7:3)

Ini tentang ittiba’.

Dan Alloh berfirman:

قل أطيعوا الله والرسول فإن تولوا فإن الله لايحب الكافرين

Katakanlah:"Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir". (QS. 3:32)

Dan ini tentang ketaatan.

Dan Alloh berfirman:

ولايُشرك في حكمه أحداً

dan Dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan keputusan". (QS. 18:26)

Dan ini tentang berhukum.

Maka mengesakan Alloh dalam ittiba’, taat dan beerhukum semuanya masuk dalam pengertian mengesakan dalam ibadah – yaitu tauhid uluhiyah – sebagaimana mengesakan Alloh dalam sholat, berdo’a dan beribadah, ini semua adalah bentuk ibadah. Dan Alloh berfirman:

وماأرسلنا من قبلك من رسول إلا نوحي إليه أنه لا إله إلا أنا فاعبدون

Dan Kami tidak mengutus seorang rasul sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya:"Bahwasanya tidak ada Ilah(yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku". (QS. 21:25)

Dengan demikian maka ibadah adalah sebuah nama yang mencakup spa saja yang dicintai dan diridloi Alloh, berupa perkataan dan perbuatan, baik lahir maupun batin.

Dengan demikian maka ungkapan yang mencakup arti thoghut ditinjau dari wujudnya adalah segala sesuatu yang diibadahi selain Alloh. Dan adapun secara terperinci dalam al-qur’an dan as-sunnah menyebutkan dua macam thoghut, yaitu thoghut dalam ibadah dan thoghut dalam hukum.

A. Thoghut dalam ibadah. Terdapat dalam firmanAlloh:

والذين اجتنبوا الطاغوت أن يعبدوها

Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembahnya (QS. 39:17)

Yaitu segala sesuatu yang diibadahi selain Alloh yang berupa syetan atau manusia baik yang hidup maupun yang mati, atau hewan atau benda mati seperti pohon dan batu, atau bintang, sama saja apakan dengan cara mempersembahkan korban kepadanya atau dengan berdo’a kepadanya atau sholat kepadanya. Atau mengikuti dan mentaatinya dalam masalah yang menyelisihi syari’at Alloh. Dan kalimat “segala yang diibadahi selain Alloh” dibatasi dengan kalimat “dia rela dengan ibadah tersebut” supaya tidak masuk ke dalamnya seperti Isa as., atau nabi-nabi yang lain, malaikat dan orang-orang sholih sedangkan merea tida rela dengan perbuatan tersebut, sehingga mereka tidak disebut thoghut. Ibnu Taimiyah berkata: “Alloh berfirman:

ويوم يحشرهم جميعا ثم يقول للملائكة أهؤلاء إياكم كانوا يعبدون، قالوا سبحانك أنت وليّنا من دونهم بل كانوا يعبدون الجن أكثرهم بهم مؤمنون

Dan (ingatlah) hari (yang di waktu itu) Allah mengumpulkan mereka semuanya kemudian Allah berfirman kepada malaikat:"Apakah mereka ini dahulu menyembah kamu?" (QS. 34:40)

Malaikat-malaikat itu menjawab:"Maha Suci Engkau.Engkaulah pelindung kami, bukan mereka; bahkan mereka telah menyembah jin; kebanyakan mereka beriman kepada jin itu". (QS. 34:41)

Artinya para malaikat tidak memerintahkan mereka intu melakukannya, akan tetapi sebenarnya mereka diperintahkan oleh jin, supaya mereka menjadi penyembah-penyembah syetan yang menampakkan diri kepada mereka. Sebagaimana berhala-barhala itu ada syetannya, dan sebagaimana turun kepada orang yang beribadah kepada bintang dan mengintainya. Sampai ada yang menjelma kepada mereka dan berbicara kepada mereka. Padahal dia adalah syetan. Oleh karena itu Alloh berfirman:

ألم أعهد إليكم يابني آدم أن لاتعبدوا الشيطان إنه لكم عدو مبين، وأن اعبدوني هذا صراط مستقيم، ولقد أضل منكم جبلاً كثيراً أفلم تكونوا تعقلون

Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu hai Bani Adam supaya kamu tidak menyembah syaitan? Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagi kamu", dan hendaklah kamu menyembah-Ku.Inilah jalan yang lurus. Sesungguhnya syaitan itu telah menyesatkan sebagaian besar diantaramu.Maka apakah kamu tidak memikirkan? (QS. 36:60-62)

Dan Alloh berfirman:

أفتتخذونه وذريته أولياء من دوني وهم لكم عدو، بئس للظالمين بدلا

Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat:"Sujudlah kamu kepada Adam", maka sujudlah mereka kecuali iblis. Dia adalah dari golongan jin, maka ia mendurhakai perintah Rabbnya. Patutkah kamu mengambil dia dan turunan-turunannya sebagai pemimpin selain daripada-Ku, sedang mereka adalah musuhmu Amat buruklah iblis itu sebagai pengganti (Allah) bagi orang-orang yang zhalim. (QS. 18:50)

(Majmu’ Fatawa IV/135-136)

B. Thoghut dalam hukum, ini terdapat dalam firman Alloh:

يريدون أن يتحاكموا إلى الطاغوت

Mereka hendak berhukum kepada thaghut, (QS. 4:60)

Dan setiap orang yang dimintai untuk memutuskan hukum selain Alloh baik berupa undang-undang positif atau hakim yang menjalankan hukum selain hukum yang telah diturunkan Alloh, sama saja apakah ia seorang penguasa atau hakim atau yang lainnya. Di antara fatwa fatwa ulama’ jaman ini adalah yang terdapat dalam fatwa al-lajnah ad-da’imah lil buhuts al-‘ilmiyah wal ifta’ di Saudi, sebagai jawaban orang yang menanyakan makna thoghut yang terdapat dalam firman Alloh:

يريدون أن يتحاكموا إلى الطاغوت

Mereka hendak berhukum kepada thaghut, (QS. 4:60)

Maka dijawab:

“Yang dimaksud dengan thoghut pada ayat tersebut adalah segala sesuatu yang memalingkan manusia dari al-qur’an dan as-sunnah kepada berhukum kepada dirinya baik itu berupa system atau undang-undang positif atau adat istiadat yang diwariskan dari nenek moyang atau pemimpin-pemimpin suku untuk memutuskan perkara antara mereka dengan hal-hal tersebut atau dengan pendapat pemimpin jama’ah (kelompok) atau dukun. Dari situ jelaslah bahwa system yang dibuat untuk berhukum kepadanya yang bertantangan dengan syari’at Alloh masuk ke dalam pengertian thoghut.” (Fatwa no.8008) Dan dalam menjawab pertanyaan; Kapan seseorang itu disebut sebagai thoghut, maka dijawab: “Apabila dia menyeru kepada kesyirikan atau mengajak untuk beribadah kepada dirinya atau mengaku mengetahui hal-hal yang ghaib atau memutuskan perkara dengan selain hukum Alloh dengan sengaja atau yang lainnya.” Diambil dari fatwa no. 5966. yang berfatwa adalah: Abdulloh bin Qu’ud, Abdulloh bin Ghodyan, Abdur Rozzaaq ‘Afifi dan Abdul Aziz bin Bazz. (Fatawa al-Lajnah Ad-Da’imah I/542-543, yang dikumpulkan oleh Ahmad Abdur Rozzaq Ad-Duwaiys, cet. Darul ‘Ashimah, Riyadl 1411 H.)

Sekarang tinggallah dua permasalahan lagi:

Pertama: bahwa thoghut itu diimani dan dikufuri, Alloh berfirman:

يؤمنون بالجبـت والطاغــوت

orang-orang yang diberi bahagian dari Al-Kitab Mereka percaya kepada jibt dan thaghut, (QS. 4:51)

dan Alloh berfirman:

فمن يكفر بالطاغوت ويؤمن بالله

(Lihat Majmu’ Fataawa Ibnu Taimiyah VII/558-559)

Beiman kepada thoghut dengan cara memberikan satu bentuk ibadah kepadanya atau berhukum kepadanya. Dan mengkufuri thoghut itu dengan cara tidak beribadah kepadanya, meyakini kebatilannya, tidak berhukum kepadanya, meyakini batilnya berhukum kepadanya, memusuhi orang orang yang beribadah kepada thoghut dan mengkafirkan mereka.

Permasalahan yang kedua; sesungguhnya kufur kepada thoghut dan beriman kepada Alloh itu adalah tauhid yang didakwahkan olehpara rosul, dan ini adalah yang pertamakali mereka dakwahkan, sebagaimana firman Alloh:

ولقد بعثنا في كل أمة ٍ رسولا أن اعبدوا الله واجتنبوا الطاغوت

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan):"Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thagut itu", (QS. 16:36)

Sedangkan thoghut yang dimaksud dalam pembahasan kita ini masalah 'Hukum Bagi Para Pembela Thoghut' ini adalah thoghut penguasa hukum, dalam hal ini adalah undang-undang dan hukum positif yang dijadikan landasan hukum selain Alloh juga para penguasanya yang kafir yang menjalankan hukum dengan selain hukum yang Alloh turunkan.

Adapun para pembela thoghut adalah orang-orang yang mempertahankannya dan membantunya sampai berperang, membelanya baik dengan perkataan maupun perbuatan. Maka setiap orang yang membantu mereka dengan perkataan maupun perbuatan adalah para pembela thoghut. Karena peperangan itu terjadi dengan perkataan dan perbuatan . sebagaimana kata Ibnu Taimiyah – ketika berbicara tentang memerangi orang kafir asli - : “Adapun orang yang tidak mempunyai kelayakan untuk berperang seperti perempuan, anak-anak, pendeta, orang tua, orang buta, orang cacat dan orang-orangyang semacam mereka tidak boleh dibunuh menurut mayoritas ulama’ kecuali jika mereka ikut berperang dengan perkataan atau perbuatannya.” (Majmu’ Fatawa XXVIII/354) Dan beliau juga berkata: “Dan perempuan mereka tidaklah dibunuh kecuali jika mereka ikut berperang dengan perkataan atau perbuatan, berdasarkan kesepakan para ulama’.” (Majmu’ Fatawa XXVIII/14) Dan beliau juga berkata: “Peperangan itu ada dua macam; peperangan dengan tangan dan peperangan dengan lisan – sampai beliau mengatakan – begitu pula perusakan itu kadang dilakukan dengan tangan dan kadang dilakukan dengan lisan, dan perusakan agama dengan lisan itu lebih lemah daripada dengan tangan.” (Ash-Shorimul Maslul, hal. 385) Atas dasar ini maka yang dimaksud dengan para pembela thoghut dalam pembahasan lita ini adalah;

A. Orang-orang yang membantu dengan perkataan. Dalam hal ini yang paling menonjol adalah; sebagian dari ulama’ suu’, dan para pelajar yang memberikan pengesahan secara syar’ii kepada para penguasa kafir. Mereka membantah tuduhan atas kekafiran para penguasa tersebut dan membodoh-bodohkan kaum muslimin yang berjihad memberontak mereka. Mereka-mereka itulah yang menuduh sesat para mujahidin dan menipu para penguasa. Juga termasuk orang-orang yang membantu dengan perkataan ini adalah para penulis, para jurnalis dan penyiar-penyiar berita yang melakukan perbuatan yang sama.

B. Orang-orang yang membela dengan perbuatan. Dalam hal ini yang paling menonjol adalah balatentara penguasa kafir, sama saja apakah mereka itu angkatan bersenjata atau polisi. Baik yang melakukan secara langsung maupun tidak langsung. Mereka ini di dalam undang-undang negara dipersiapkan untuk melaksanakan beberapa tugas, di antaranya;

- Menjaga system negara secara umum, yang hal itu berarti terus berlakunya pelaksanaan undang-undang kafir dan menghukum semua orang yang menentangnya atau berusaha mengubahnya.

- Menjaga keabsahan undang-undang, yang hal ini berarti menjaga penguasa kafir itu sendiri, karena penguasa tersebut dianggap sebagai penguasa yang syah berdasarkan undang-undang mereka, dan karena dia diangkat sesuai dengan peraturan yang berlaku sesuai dengan undang-undang positif.

- Memperkuat kekuasaan undang-undang, dengan cara melaksanakan hal-hal yang diwajibkan oleh undang-undang, dan masuk dalam hal ini pelaksanaan hukum yang dikeluarkan oleh pengadilan yang berdasarkan undang-undang thoghut.

Dan masuk kedalam golongan pembela thoghut juga setiap orang yang membantu mereka dengan perkataan atau perbuatan dari selain yang telah kami sebutkan di sini, meskipun orang yang memberikan bantuan tersebut adalah negara lain, hukumnya sama saja.

Inilah yang dimaksud dengan thoghut dan mereka itulah yang dimaksud dengan para pembela thoghut.

Selengkapnya...